Pemerintahan yang baik selalu saja diidentikkan dengan pemerintahan yang demokratis. Perspektif ini tentu beranjak dari pandangan umum mengenai pemerintahan demokratis, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebenarnya, awal mula konsep seperti ini tidak bermula dari rumusan Aristoteles maupun Plato di zaman Yunani kuno, tapi sudah ada sejak ratusan ribu tahun yang lalu sebelum mereka, yaitu zaman nabi Nuh as. dengan prototipe model demokrasi yang memang berjalan baik (menurut pandangan masyarakat saat itu). Suatu ketika nabi Nuh as. berdoa kepada Allah swt. “…bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku)’…” (QS. al-Qamar: 10). Padahal kita tahu bahwa dalam sejarah hanya tiga nabi yang memimpin pasukan untuk berperang, yaitu nabi Daud as., nabi Sulaiman as., dan nabi Muhammad saw. Lalu pertanyaannya, nabi Nuh as. dalam doanya tersebut dikalahkan oleh siapa? Padahal Beliau as. sama sekali tidak memimpin batalyon! Bila kita kroscek surat al-Qamar, sebelum ayat 10, kita kan dapati bahwa nabi Nuh as. dikalahkan oleh Suara Mayoritas yang membuat aturan hidup sendiri dan menolak seruan nabi Nuh as. yang mengajak untuk mengembalikan segala urusannya (aturan hidup) pada ketetapan Allah yang sudah ada sejak zaman nabi-nabi sebelumnya. Sungguh, masyarakat kala itu dapat menjalankan hak-haknya secara penuh karena kedaulatan memang benar-benar ada ditangan mereka. Namun ironisnya, justru Suara Mayoritas itulah yang membuat mereka (masyarakat yang ingkar pada nabi Nuh as.) musnah ditenggelamkan banjir maha besar yang diturunkan Allah agar menjadi pelajaran buat umat manusia yang akan datang untuk tidak men-copy paste jalan hidup mereka, termasuk kita.
Tapi realitanya, apa yang sekarang terjadi dengan mayoritas masyarakat (baca: negara) kita!
Untuk negara sebesar Indonesia, (memang) tak mungkin seluruh masyarakat mendapatkan hak-haknya secara langsung, utuh dan penuh. Makanya kemudian diterapkan sistem perwakilan. Dengan adanya reformasi, sistem perwakilan ini kemudian lebih disempurnakan lagi sehingga ada perbaikan signifikan dalam tata pemerintahan. Rakyat cukup memilih pemimpinnya, mulai dari bupati hingga presiden secara langsung, lalu memilih perwakilan mereka di parlemen, juga secara langsung. Kepada kedua lembaga ini, eksekutif dan legislatif, rakyat mengamanahkan sesuatu yang sebenarnya menjadi beban berat sejarah: amanah kekuasaan. Sebab tak mungkin semua rakyat bersidang di parlemen untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan dan pemimpin yang dipilihnya.
Tapi, sebuah euforia tetaplah euforia. Kegembiraan, kemenangan dan kesukariaan akan selalu ada di belahan dunia, tidak hanya di lapangan sepak bola, atau di layar televisi, tetapi juga di panggung politik. Namun yang pasti, euforia selalu berpindah. Jika masa pemilu lalu, euforia yang sekejap itu merupakan milik rakyat, sekarang sudah beralih. Sekarang saatnya wakil rakyat yang bereuforia, bergembira dan menikmati investasi, hasil kampanye serta perjuangan keras mereka. Jika pemilu disebut pesta rakyat, maka sekarang saatnya kembali ke pesta wakil rakyat, pesta anggota dewan yang terhormat tapi bejat, pesta pejabat dan pestanya penguasa. Semuanya kembali ke posisi semula, kepada situasi yang ‘normal’, bahwa sukaria, kesenangan, dan uang hanyalah milik segelintir orang. Merekalah para penguasa, para wakil rakyat yang terpilih dan merasa paling berhak menikmati segala ‘fasilitas’ di negeri ini.
Ketika amanah yang diberikan kepada wakil-wakil rakyat itu tidak dijalankan dengan baik, bahkan mengkhianatinya. Namun itulah yang menjadi beban sejarah dalam berdemokrasi di mana pun di dunia ini. Demokrasi kemudian dapat menjadi slogan indah yang dalam kenyataannya menjadi omong kosong belaka. Suara rakyat yang seharusnya menjadi representasi kemauan rakyat, dalam kenyataannya berubah menjadi suara individu anggota parlemen ketika suara itu disampaikan lewat ‘mulut salah’ anggota parlemen. Wakil rakyat yang seharusnya merakyat, benar-benar mewakili rakyat sebagai konstituennya, malah memiliki suara berbeda dari rakyat yang justru memelaratkan rakyat.
Kenyataan ini tentu menjadi derita panjang yang seolah tak berkesudahan, meski telah mendapat pengakuan dunia bahwa Indonesia adalah Negara yang paling demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah momok bagi rakyat yang sadar (kalau tidak mau disebut bodoh dan tolol) bahwa suara mereka ternyata menjadi sia-sia ketika diberikan dan dipercayakan kepada orang-orang yang tidak amanah. Padahal, prinsip demokrasi mengatakan bahwa suara rakyat adalah ‘Suara Tuhan’ (Vox Populi Vox Dei). Artinya, suara ‘rakyat banyak’ itu memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar seperti Tuhan (bahkan lebih). Namun kenyataannya dapat berbalik 180 derajat karena apa yang terjadi, suara rakyat tetap suara rakyat, bukan suara parlemen, apalagi suara Tuhan. Rakyat memiliki suara dan kehendak, namun parlemen juga ada agenda dan suara sendiri. Suara rakyat bahkan kerap tak terepresentasi dalam bentuk yang konkret ketika disampaikan oleh wakil-wakilnya yang salah dan serakah. Padahal, dalam konsep perwakilan, seharusnya rakyat adalah ‘ketua’ yang memiliki kedaulatan, dapat mendikte wakilnya. Namun ini nyaris tak terlihat dalam dinamika demokrasi negeri ini.
Beberapa contoh pengkhianatan wakil rakyat adalah, menyusun dan mengesahkan anggaran merupakan salah satu tugas dari wakil rakyat selain tugas legislasi (pembuatan peraturan) dan controling (pengawasan). Oleh karena itu, mereka dapat dengan leluasa menyusun anggaran sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bisa mengatur gaji mereka sendiri, juga pengeluaran mereka yang lainnya, tentu dari uang negara yang notabene dari rakyat.
Praktik ini dengan lebih bebas dilakukan di era reformasi ini. Para wakil rakyat di pusat maupun di daerah memanfaatkan era ‘terbaik’ ini. Gaji pokok mereka bahkan bisa mencapai sepuluh kali lipat gaji pokok pegawai negeri sipil pangkat tertinggi. Saat ini memang sudah ada berbagai kritik dan aturan yang mengikat. Mulailah disusun aturan, baik itu undang-undang, PP, atau pun Kepmen mengenai gaji anggota legislatif. Para anggota legislatif pun sudah berjumpilatan dan di sidang pengadilan dan bahkan sudah ada yang divonis karena penyalahgunaan wewenang dan amanah ini.
Namun ini bukan berarti para wakil rakyat tak leluasa menyusun anggaran. Celah bisa saja dicari dan anggaran untuk itu tetap ada. Akhir-akhir ini misalnya, kita dihebohkan dengan plesiran anggota DPR RI dengan kedok studi banding ke Luar Negeri, disaat dimana bangsa ini berduka atas menderitanya rakyat yang menjadi korban bencana alam. Milyaran rupiah dikeluarkan dari uang negara untuk studi banding ini. Atau yang masih hot dimemori kita, yaitu ketika Pemerintah dengan segenap jajarannya (Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif) menyambut dengan penuh suka cita kunjungan Presiden Amerika Barrack Obama, Pemerintah tak malu-malu memperlihatkan bahwa mereka budak Amerika, hal ini terjadi juga disaat dimana rakyat masih penuh dengan duka derita. Kunjungan Obama ke Indonesia untuk menandatangani Perjanjian Kemitraan Komprehensif Amerika Serikat-Indonesia, terkait hal ini Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Kebijakan Publik) berkomentar saat diwawancara: “Obama Mengokohkan Penjajahan Atas Indonesia.” (MediaUmat, Edisi 47). Jadi sejatinya, kedatangan Obama adalah bencana lebih besar bagi Indonesia.
Betapa dzalimnya Pemerintah yang mangkhianati Tuhan dan rakyatnya. Atas nama Demokrasi, sesuatu yang tidak boleh dijual harus dijual dimana seharusnya tidak boleh diperjualbelikan. Atas nama Demokrasi, seseorang yang diharamkan menyambut kedatangannya harus disambut disaat rakyatnya menderita ditimpa musibah bencana alam. Dan atas nama Demokrasi, sesuatu yang seharusnya dijaga dan dijalankan malah diselewengkan dan dikhianati. Sudah tidak sedikit kekayaan Sumber Daya Alam bangsa ini dijual dengan murah dan percuma ke pihak asing. Telah banyak kerugian yang didapat dan diderita oleh bangsa ini atas kedatangan Obama yang hanya bertujuan mengokohkan penjajahan Amerika pada Indonesia melalui Perjanjian Kemitraan Komprehensif Amerika Serikat-Indonesia. Sudah banyak skandal oknum Penegak Keadilan yang seharusnya berbuat adil malah mencederai nilai-nilai keadilan, dan sudah banyak kasus wakil rakyat yang seharusnya merakyat malah tidak peduli dengan nasib rakyat. Dilihat dari segi ‘wadahnya’ saja, demokrasi nyata-nyata GAGAL menyejahterakan rakyat, apalagi dilihat dari ‘isinya’ yang nyata-nyata bertentangan dengan agama yang dianut sebagian besar rakyat Indonesia termasuk para pejabat dan pengauasa!!!.
Sungguh tiada bedanya bangsa ini dengan masyarakat di zaman nabi Nuh as., demokrasi kini telah menjadi agama baru, semboyan-semboyan ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei)’, dan derivat-derivatnya yang berupa Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme dan lain-lain, tidak lah lebih daripada doa-doa yang dikira mustajab untuk menjawab dan menuntaskan segala problematika masyarakat. Segala aturan dan kebijakan diserahkan pada suara mayoritas, entah itu ada perbedaan pendapat atau tidak, baik atau buruk, yang jelas adalah penggalian sumber hukum dan penetapannya berasal dari manusia. Padahal Allah mengingatkan kita dalam surat an-Nisa’ ayat 59-60:
“…Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya…”.
Mencermati realita yang ada, kita –yang sadar- sudah pada saatnya untuk berkata tidak pada Demokrasi! Atau kita (yang masih memuja-muja) demokrasi ingin bernasib sama dengan umat nabi Nuh as. yang dimusnahkan dalam keadaan kekufuran? Tidakkah kita ingat janji Allah dalam surah al-A’raf ayat 96:
“…Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya…”.
Kesimpulan:
Kita boleh saja berhati-hati dengan aliran sesat dan menyesatkan, tapi kita juga harus lebih berhati-hati dengan ‘jalan hidup’ atau ‘pandangan hidup’ sesat dan menyesat yang sengaja dibuat dan dipropagandakan oleh kaum kafir barat hingga kita mengikutinya dan kita tidak merasa menjalaninya.
“…Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah (pandangan hidup/jalan hidup -penj) mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu…” (QS. al-Baqarah: 12)
Untuk negara sebesar Indonesia, (memang) tak mungkin seluruh masyarakat mendapatkan hak-haknya secara langsung, utuh dan penuh. Makanya kemudian diterapkan sistem perwakilan. Dengan adanya reformasi, sistem perwakilan ini kemudian lebih disempurnakan lagi sehingga ada perbaikan signifikan dalam tata pemerintahan. Rakyat cukup memilih pemimpinnya, mulai dari bupati hingga presiden secara langsung, lalu memilih perwakilan mereka di parlemen, juga secara langsung. Kepada kedua lembaga ini, eksekutif dan legislatif, rakyat mengamanahkan sesuatu yang sebenarnya menjadi beban berat sejarah: amanah kekuasaan. Sebab tak mungkin semua rakyat bersidang di parlemen untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan dan pemimpin yang dipilihnya.
Tapi, sebuah euforia tetaplah euforia. Kegembiraan, kemenangan dan kesukariaan akan selalu ada di belahan dunia, tidak hanya di lapangan sepak bola, atau di layar televisi, tetapi juga di panggung politik. Namun yang pasti, euforia selalu berpindah. Jika masa pemilu lalu, euforia yang sekejap itu merupakan milik rakyat, sekarang sudah beralih. Sekarang saatnya wakil rakyat yang bereuforia, bergembira dan menikmati investasi, hasil kampanye serta perjuangan keras mereka. Jika pemilu disebut pesta rakyat, maka sekarang saatnya kembali ke pesta wakil rakyat, pesta anggota dewan yang terhormat tapi bejat, pesta pejabat dan pestanya penguasa. Semuanya kembali ke posisi semula, kepada situasi yang ‘normal’, bahwa sukaria, kesenangan, dan uang hanyalah milik segelintir orang. Merekalah para penguasa, para wakil rakyat yang terpilih dan merasa paling berhak menikmati segala ‘fasilitas’ di negeri ini.
Ketika amanah yang diberikan kepada wakil-wakil rakyat itu tidak dijalankan dengan baik, bahkan mengkhianatinya. Namun itulah yang menjadi beban sejarah dalam berdemokrasi di mana pun di dunia ini. Demokrasi kemudian dapat menjadi slogan indah yang dalam kenyataannya menjadi omong kosong belaka. Suara rakyat yang seharusnya menjadi representasi kemauan rakyat, dalam kenyataannya berubah menjadi suara individu anggota parlemen ketika suara itu disampaikan lewat ‘mulut salah’ anggota parlemen. Wakil rakyat yang seharusnya merakyat, benar-benar mewakili rakyat sebagai konstituennya, malah memiliki suara berbeda dari rakyat yang justru memelaratkan rakyat.
Kenyataan ini tentu menjadi derita panjang yang seolah tak berkesudahan, meski telah mendapat pengakuan dunia bahwa Indonesia adalah Negara yang paling demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah momok bagi rakyat yang sadar (kalau tidak mau disebut bodoh dan tolol) bahwa suara mereka ternyata menjadi sia-sia ketika diberikan dan dipercayakan kepada orang-orang yang tidak amanah. Padahal, prinsip demokrasi mengatakan bahwa suara rakyat adalah ‘Suara Tuhan’ (Vox Populi Vox Dei). Artinya, suara ‘rakyat banyak’ itu memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar seperti Tuhan (bahkan lebih). Namun kenyataannya dapat berbalik 180 derajat karena apa yang terjadi, suara rakyat tetap suara rakyat, bukan suara parlemen, apalagi suara Tuhan. Rakyat memiliki suara dan kehendak, namun parlemen juga ada agenda dan suara sendiri. Suara rakyat bahkan kerap tak terepresentasi dalam bentuk yang konkret ketika disampaikan oleh wakil-wakilnya yang salah dan serakah. Padahal, dalam konsep perwakilan, seharusnya rakyat adalah ‘ketua’ yang memiliki kedaulatan, dapat mendikte wakilnya. Namun ini nyaris tak terlihat dalam dinamika demokrasi negeri ini.
Beberapa contoh pengkhianatan wakil rakyat adalah, menyusun dan mengesahkan anggaran merupakan salah satu tugas dari wakil rakyat selain tugas legislasi (pembuatan peraturan) dan controling (pengawasan). Oleh karena itu, mereka dapat dengan leluasa menyusun anggaran sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bisa mengatur gaji mereka sendiri, juga pengeluaran mereka yang lainnya, tentu dari uang negara yang notabene dari rakyat.
Praktik ini dengan lebih bebas dilakukan di era reformasi ini. Para wakil rakyat di pusat maupun di daerah memanfaatkan era ‘terbaik’ ini. Gaji pokok mereka bahkan bisa mencapai sepuluh kali lipat gaji pokok pegawai negeri sipil pangkat tertinggi. Saat ini memang sudah ada berbagai kritik dan aturan yang mengikat. Mulailah disusun aturan, baik itu undang-undang, PP, atau pun Kepmen mengenai gaji anggota legislatif. Para anggota legislatif pun sudah berjumpilatan dan di sidang pengadilan dan bahkan sudah ada yang divonis karena penyalahgunaan wewenang dan amanah ini.
Namun ini bukan berarti para wakil rakyat tak leluasa menyusun anggaran. Celah bisa saja dicari dan anggaran untuk itu tetap ada. Akhir-akhir ini misalnya, kita dihebohkan dengan plesiran anggota DPR RI dengan kedok studi banding ke Luar Negeri, disaat dimana bangsa ini berduka atas menderitanya rakyat yang menjadi korban bencana alam. Milyaran rupiah dikeluarkan dari uang negara untuk studi banding ini. Atau yang masih hot dimemori kita, yaitu ketika Pemerintah dengan segenap jajarannya (Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif) menyambut dengan penuh suka cita kunjungan Presiden Amerika Barrack Obama, Pemerintah tak malu-malu memperlihatkan bahwa mereka budak Amerika, hal ini terjadi juga disaat dimana rakyat masih penuh dengan duka derita. Kunjungan Obama ke Indonesia untuk menandatangani Perjanjian Kemitraan Komprehensif Amerika Serikat-Indonesia, terkait hal ini Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Kebijakan Publik) berkomentar saat diwawancara: “Obama Mengokohkan Penjajahan Atas Indonesia.” (MediaUmat, Edisi 47). Jadi sejatinya, kedatangan Obama adalah bencana lebih besar bagi Indonesia.
Betapa dzalimnya Pemerintah yang mangkhianati Tuhan dan rakyatnya. Atas nama Demokrasi, sesuatu yang tidak boleh dijual harus dijual dimana seharusnya tidak boleh diperjualbelikan. Atas nama Demokrasi, seseorang yang diharamkan menyambut kedatangannya harus disambut disaat rakyatnya menderita ditimpa musibah bencana alam. Dan atas nama Demokrasi, sesuatu yang seharusnya dijaga dan dijalankan malah diselewengkan dan dikhianati. Sudah tidak sedikit kekayaan Sumber Daya Alam bangsa ini dijual dengan murah dan percuma ke pihak asing. Telah banyak kerugian yang didapat dan diderita oleh bangsa ini atas kedatangan Obama yang hanya bertujuan mengokohkan penjajahan Amerika pada Indonesia melalui Perjanjian Kemitraan Komprehensif Amerika Serikat-Indonesia. Sudah banyak skandal oknum Penegak Keadilan yang seharusnya berbuat adil malah mencederai nilai-nilai keadilan, dan sudah banyak kasus wakil rakyat yang seharusnya merakyat malah tidak peduli dengan nasib rakyat. Dilihat dari segi ‘wadahnya’ saja, demokrasi nyata-nyata GAGAL menyejahterakan rakyat, apalagi dilihat dari ‘isinya’ yang nyata-nyata bertentangan dengan agama yang dianut sebagian besar rakyat Indonesia termasuk para pejabat dan pengauasa!!!.
Sungguh tiada bedanya bangsa ini dengan masyarakat di zaman nabi Nuh as., demokrasi kini telah menjadi agama baru, semboyan-semboyan ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei)’, dan derivat-derivatnya yang berupa Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme dan lain-lain, tidak lah lebih daripada doa-doa yang dikira mustajab untuk menjawab dan menuntaskan segala problematika masyarakat. Segala aturan dan kebijakan diserahkan pada suara mayoritas, entah itu ada perbedaan pendapat atau tidak, baik atau buruk, yang jelas adalah penggalian sumber hukum dan penetapannya berasal dari manusia. Padahal Allah mengingatkan kita dalam surat an-Nisa’ ayat 59-60:
“…Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya…”.
Mencermati realita yang ada, kita –yang sadar- sudah pada saatnya untuk berkata tidak pada Demokrasi! Atau kita (yang masih memuja-muja) demokrasi ingin bernasib sama dengan umat nabi Nuh as. yang dimusnahkan dalam keadaan kekufuran? Tidakkah kita ingat janji Allah dalam surah al-A’raf ayat 96:
“…Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya…”.
Kesimpulan:
Kita boleh saja berhati-hati dengan aliran sesat dan menyesatkan, tapi kita juga harus lebih berhati-hati dengan ‘jalan hidup’ atau ‘pandangan hidup’ sesat dan menyesat yang sengaja dibuat dan dipropagandakan oleh kaum kafir barat hingga kita mengikutinya dan kita tidak merasa menjalaninya.
“…Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah (pandangan hidup/jalan hidup -penj) mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu…” (QS. al-Baqarah: 12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar